2 Desember 2011

The Mission


Sutradara         : Roland Joffé
Sinematografi  : Chris Menges
Musik                : Ennio Morricone
Produksi           : 1986
Durasi               : 2:06

Pada pertengahan tahun 1750-an, kurang lebih 250 tahun setelah Columbus mendarat di Benua Amerika, orang Guarani yang hidup nomadik di Rio de La Plata di Paraguay akhirnya berjumpa dengan peradaban Barat. Seperti sudah kita ketahui, perjumpaan masyarakat asli Amerika dengan peradaban Barat adalah perjumpaan yang perih. Orang Guarani diburu dan dijadikan budak oleh orang Spanyol, sekalipun sebenarnya pada masa itu Spanyol sudah tidak mengakui perbudakan. Bahkan Gereja Katolik sendiri juga sudah tidak mengakui perbudakan. Namun apa mau dikata, dihapusnya perbudakan tidak berarti musnahnya praktik perbudakan, apalagi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. ***

Dengan latar belakang sejarah itulah, film garapan Roland Joffé yang dirilis tahun 1986 ini dibuat. Film dimulai dengan adegan Uskup Altamirano (Ray McAnally), perwakilan Vatikan untuk Amerika Latin, memdiktekan laporannya bagi Vatikan. Laporan yang gamang. Di satu sisi Uskup Altamirano melaporkan tunainya tugas membereskan daerah misi ordo Serikat Jesuit di sebuah daerah di Amerika Latin yang dipersengketakan Spanyol dan Portugis. Sementara di satu sisi Uskup Altamirano seperti menyayangkan tindakannya sendiri, yang menyebabkan musnahnya daerah misi Jesuit dan jatuhnya orang Guarani ke dalam perbudakan oleh bangsa Portugis. Padahal sungguh tidak mudah untuk meraih kepercayaan orang Guarani. Seorang pastur yang mencoba masuk ke kehidupan orang Guarani kemudian disalibkan dan dibuang ke sungai. Hingga kemudian datanglah seorang pastur muda yang bernama Gabriel (Jeremy Irons). Dengan hanya berbekal seruling, pastur Gabriel berangkat menempuh perjalanan berat menyusuri sungai dan mendaki air terjun untuk mencapai daerah orang Guarani. Ketika akhirnya berjumpa dengan orang Guarani, pastur Gabriel menggunakan serulingnya untuk membuat kontak. Hasilnya, dia diterima dengan baik oleh orang Guarani. Kehidupan orang Guarani berkembang. Mereka tidak hanya memiliki perkampungan yang layak tapi juga memiliki perkebunan-perkebunan mereka sendiri. Sementara di sisi lain, dikisahkan transformasi Mendoza (Robert De Niro), seorang pemburu budak yang membunuh adiknya sendiri dan menjadi orang linglung yang disiksa rasa bersalahnya. Mendoza kemudian menemukan jalan penebusan dosa dan rasa bersalahnya dengan menyeret semua peralatan perangnya menuju ke perkampungan orang Guarani bersama dengan pastur Gabriel. Setelah menerima pengampunan dari orang Guarani, Mendoza turut menjadi penggiat dalam daerah misi dan bahkan memutuskan menjadi pastur. Kehadiran Uskup Altamirano beserta delegasi Spanyol dan Portugis di daerah misi pastur Gabriel menjadi penggerak cerita. Uskup Altamirano sebenarnya datang untuk membawa pesan Vatikan, daerah misi harus gulung tikar untuk diserahkan ke Portugis. Berani menolak resikonya Portugal akan memutuskan hubungan dengan gereja Katolik. Dalam turne-nya itu, Uskup Altamirano malah menjadi gentar. Dia menyaksikan bagaimana masyarakat lokal setempat, orang Guarani, tidak hanya diberi label “sudah dikristenkan” tapi juga dimampukan agar sederajat dengan orang Eropa. Orang Guarani tidak hanya mampu menyanyikan lagu-lagu Gregorian dengan baik, tapi juga mampu mengelola perkampungan dan perkebunan mereka sendiri sama baiknya dengan yang dikelola orang Eropa. Tapi toh, gereja tak kuasa menolak arus politik saat itu. Daerah misi harus dialihkan ke Portugal dan orang Guarani harus kembali ke hutan atau jadi budak. Berbeda dengan rumusan film-film Hollywood (seperti Avatar yang sekarang sedang heboh), para Jesuit tidak serta merta menolak keputusan itu dan mengajak orang Guarani yang sangat kecewa dengan gereja untuk memberontak. Sekalipun sama-sama menolak perintah Uskup, pastur Gabriel memilih untuk “membantu mereka (orang Guarani) sebagai pastur” sedangkan pastur Mendoza dan seorang Jesuit lainnya (Liam Neeson) memilih menanggalkan jubah pastur dan memulai perlawanan bersenjata. Pastur Gabriel memilih memimpin misa terakhir untuk orang Guarani di saat Mendoza dan mantan Jesuit lainnya menyiapkan perlawanan bersenjata. Keduanya kemudian rebah diterjang peluru pasukan Portugis. Di saat-saat akhir tersebut, film nyaris tidak diwarnai dengan dialog. Adegan demi adegan datang silih berganti membuat kita bertanya-tanya; pastur Gabriel dan Mendoza sama-sama menolak perintah, tapi pilihan siapa yang lebih bermakna? *** 

Kita juga boleh memilih, penggalan film mana yang secara visual menyuarakan akhir riwayat kemajuan Suku Guarani; apakah ketika Pastur Gabriel akhirnya terhempas ke tanah bersama dengan monstran yang dipegangnya beserta anak-anak dan perempuan Suku Guarani, ketika Pastur Rodrigo menyadari bahwa jebakannya ternyata sia-sia belaka, atau ketika juru runding Portugis dan Spanyol membentangkan peta dan memasukkan daerah orang Guarani masuk ke wilayah Portugis. Seperti ajakan Romo Bas (Kompas, Desember 2009), orang Guarani bisa diganti dengan orang Amungme, Kamoro, Dayak Iban, atau Orang Rimba dan setelah itu kita bayangkan seperti apa akhir kehidupan masyarakat adat di negara kita dan dampaknya bagi perkembangan derajat kemanusiaan bangsa kita. Tidak heran jika kemudian Vatikan memasukkan film ini dalam daftar film yang terpuji sepanjang seratus tahun sejak pertama kali film diperkenalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar