(Resensi film “The Mission”)
Sutradara: Roland Joffé
Sinematografi: Chris Menges
Musik: Ennio Morricone
Produksi: 1986
Durasi: 2:06
Pada pertengahan tahun 1750-an, kurang lebih 250 tahun setelah Columbus mendarat di Benua Amerika, orang Guarani yang hidup nomadik di Rio de La Plata di Paraguay akhirnya berjumpa dengan peradaban Barat. Seperti sudah kita ketahui, perjumpaan masyarakat asli Amerika dengan peradaban Barat adalah perjumpaan yang perih. Orang Guarani diburu dan dijadikan budak oleh orang Spanyol, sekalipun sebenarnya pada masa itu Spanyol sudah tidak mengakui perbudakan. Bahkan Gereja Katolik sendiri juga sudah tidak mengakui perbudakan. Namun apa mau dikata, dihapusnya perbudakan tidak berarti musnahnya praktik perbudakan, apalagi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. ***
Dengan
latar belakang sejarah itulah, film garapan Roland Joffé yang dirilis
tahun 1986 ini dibuat. Film dimulai dengan adegan Uskup Altamirano (Ray
McAnally), perwakilan Vatikan untuk Amerika Latin, memdiktekan
laporannya bagi Vatikan. Laporan yang gamang. Di satu sisi Uskup
Altamirano melaporkan tunainya tugas membereskan daerah misi ordo
Serikat Jesuit di sebuah daerah di Amerika Latin yang dipersengketakan
Spanyol dan Portugis. Sementara di satu sisi Uskup Altamirano seperti
menyayangkan tindakannya sendiri, yang menyebabkan musnahnya daerah misi
Jesuit dan jatuhnya orang Guarani ke dalam perbudakan oleh bangsa
Portugis.
Padahal sungguh tidak mudah untuk meraih kepercayaan orang Guarani.
Seorang pastur yang mencoba masuk ke kehidupan orang Guarani kemudian
disalibkan dan dibuang ke sungai. Hingga kemudian datanglah seorang
pastur muda yang bernama Gabriel (Jeremy Irons).
Dengan hanya berbekal seruling, pastur Gabriel berangkat menempuh
perjalanan berat menyusuri sungai dan mendaki air terjun untuk mencapai
daerah orang Guarani. Ketika akhirnya berjumpa dengan orang Guarani,
pastur Gabriel menggunakan serulingnya untuk membuat kontak. Hasilnya,
dia diterima dengan baik oleh orang Guarani. Kehidupan orang Guarani
berkembang. Mereka tidak hanya memiliki perkampungan yang layak tapi
juga memiliki perkebunan-perkebunan mereka sendiri.
Sementara di sisi lain, dikisahkan transformasi Mendoza (Robert De
Niro), seorang pemburu budak yang membunuh adiknya sendiri dan menjadi
orang linglung yang disiksa rasa bersalahnya. Mendoza kemudian menemukan
jalan penebusan dosa dan rasa bersalahnya dengan menyeret semua
peralatan perangnya menuju ke perkampungan orang Guarani bersama dengan
pastur Gabriel.
Setelah menerima pengampunan dari orang Guarani, Mendoza turut menjadi
penggiat dalam daerah misi dan bahkan memutuskan menjadi pastur.
Kehadiran Uskup Altamirano beserta delegasi Spanyol dan Portugis di
daerah misi pastur Gabriel menjadi penggerak cerita. Uskup Altamirano
sebenarnya datang untuk membawa pesan Vatikan, daerah misi harus gulung
tikar untuk diserahkan ke Portugis. Berani menolak resikonya Portugal
akan memutuskan hubungan dengan gereja Katolik.
Dalam turne-nya itu, Uskup Altamirano malah menjadi gentar. Dia
menyaksikan bagaimana masyarakat lokal setempat, orang Guarani, tidak
hanya diberi label “sudah dikristenkan” tapi juga dimampukan agar
sederajat dengan orang Eropa. Orang Guarani tidak hanya mampu
menyanyikan lagu-lagu Gregorian dengan baik, tapi juga mampu mengelola
perkampungan dan perkebunan mereka sendiri sama baiknya dengan yang
dikelola orang Eropa.
Tapi toh, gereja tak kuasa menolak arus politik saat itu. Daerah misi
harus dialihkan ke Portugal dan orang Guarani harus kembali ke hutan
atau jadi budak.
Berbeda dengan rumusan film-film Hollywood (seperti Avatar yang sekarang
sedang heboh), para Jesuit tidak serta merta menolak keputusan itu dan
mengajak orang Guarani yang sangat kecewa dengan gereja untuk
memberontak.
Sekalipun sama-sama menolak perintah Uskup, pastur Gabriel memilih untuk
“membantu mereka (orang Guarani) sebagai pastur” sedangkan pastur
Mendoza dan seorang Jesuit lainnya (Liam Neeson) memilih menanggalkan
jubah pastur dan memulai perlawanan bersenjata.
Pastur Gabriel memilih memimpin misa terakhir untuk orang Guarani di
saat Mendoza dan mantan Jesuit lainnya menyiapkan perlawanan bersenjata.
Keduanya kemudian rebah diterjang peluru pasukan Portugis. Di saat-saat
akhir tersebut, film nyaris tidak diwarnai dengan dialog. Adegan demi
adegan datang silih berganti membuat kita bertanya-tanya; pastur Gabriel
dan Mendoza sama-sama menolak perintah, tapi pilihan siapa yang lebih
bermakna?
***
Kita
juga boleh memilih, penggalan film mana yang secara visual menyuarakan
akhir riwayat kemajuan Suku Guarani; apakah ketika Pastur Gabriel
akhirnya terhempas ke tanah bersama dengan monstran yang dipegangnya
beserta anak-anak dan perempuan Suku Guarani, ketika Pastur Rodrigo
menyadari bahwa jebakannya ternyata sia-sia belaka, atau ketika juru
runding Portugis dan Spanyol membentangkan peta dan memasukkan daerah
orang Guarani masuk ke wilayah Portugis.
Seperti ajakan Romo Bas (Kompas, Desember 2009), orang Guarani bisa
diganti dengan orang Amungme, Kamoro, Dayak Iban, atau Orang Rimba dan
setelah itu kita bayangkan seperti apa akhir kehidupan masyarakat adat
di negara kita dan dampaknya bagi perkembangan derajat kemanusiaan
bangsa kita.
Tidak heran jika kemudian Vatikan memasukkan film ini dalam daftar film
yang terpuji sepanjang seratus tahun sejak pertama kali film
diperkenalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar